...
Indonesia Updates
Pilihan Editor

Krisis PHK Massal di Industri Media Indonesia 2025: Ancaman Nyata bagi Demokrasi

×

Krisis PHK Massal di Industri Media Indonesia 2025: Ancaman Nyata bagi Demokrasi

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi Peliputan.(freestockcenter)
Ilustrasi Peliputan.(freestockcenter)

INDONESIAUPDATES.COM, NASIONAL – Satu per satu ruang redaksi menjadi sepi. Bukan karena deadline telah usai, bukan pula karena berita tak lagi datang. Kursi-kursi itu kini kosong ditinggal pergi oleh mereka yang selama ini mewakili suara publik. Satu kata yang kini kian akrab dan menakutkan di telinga jurnalis ialah pemutusan hubungan kerja (PHK).

Awal 2025 menjadi babak baru dalam krisis ketenagakerjaan nasional. Gelombang PHK tak hanya melanda sektor manufaktur, tetapi juga menghantam industri media massa. Peran media sebagai pilar demokrasi keempat menjadi semakin rapuh di tengah gempuran era digital dan minimnya perlindungan dari pemerintah.

Tahun ini saja, ratusan hingga ribuan pekerja media di Indonesia harus merelakan kartu pers mereka. Bukan karena pilihan, melainkan keputusan bisnis yang tak terelakkan. Data pastinya memang buram karena sebagian besar media menutup rapat informasi ini. Dewan Pers mencatat sepanjang 2023 hingga 2024, sedikitnya 1.200 karyawan media, termasuk jurnalis, terkena PHK.

“Tidak semua media melaporkan secara terbuka bahwa mereka telah melakukan PHK. Bisa jadi, media yang terverifikasi sebenarnya juga sudah tidak lagi beroperasi,” kata Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di Jakarta, 3 Mei 2025.

Dari serpihan informasi yang dihimpun, sejumlah media besar dikabarkan telah melakukan efisiensi besar-besaran. Kompas TV disebut melepas 150 pekerja, CNN Indonesia (TV) sebanyak 200 pekerja, tvOne 75 pekerja, dan Emtek Group (SCTV dan Indosiar) sekitar 100 pekerja. MNC Group dikabarkan menutup delapan biro daerah dan merumahkan hampir 100 karyawan hanya dalam satu bulan.

Lembaga penyiaran publik seperti RRI dan TVRI pun tak luput dari imbas kebijakan efisiensi anggaran pemerintah. Penyebab utama PHK massal ini adalah ambruknya fondasi ekonomi media konvensional. Pada 2024, dari total belanja iklan nasional sebesar Rp 107 triliun, lebih dari 75% dialokasikan kepada platform digital asing seperti Google dan Meta.

Dalam laporan World Press Freedom Index 2025, Reporters Without Borders menempatkan Indonesia pada peringkat ke-127 dari 180 negara. Peringkat itu merosot dari posisi ke-111 tahun sebelumnya, dengan skor kebebasan pers turun drastis dari 51,15 menjadi 44,13.

Fenomena migrasi pembaca ke media sosial untuk mendapatkan berita cepat dan gratis, meskipun sering kali tidak akurat, membuat media konvensional semakin tersudut. Teknologi kecerdasan buatan (AI) juga memperparah kondisi dengan menghadirkan konten instan yang mengesampingkan proses jurnalistik yang etis dan faktual.

Ketua PWI Pusat, Agus Sudibyo, menilai bahwa PHK adalah sinyal dari krisis sistemik yang bersumber dari relasi tidak adil antara media lokal dan platform digital global. Ini bukan lagi soal keberlanjutan media, tetapi kedaulatan ekonomi dan nasional,” ujarnya.

Ia mencatat bahwa 75% belanja iklan digital kini dikuasai oleh platform global yang tidak terikat aturan lokal, sedangkan media nasional harus patuh pada beragam regulasi seperti UU Pers, UU ITE, UU Penyiaran, dan UU PDP. Fenomena ini disebutnya sebagai bentuk “feodalisme digital”.

Platform asing mengumpulkan data pengguna melalui kerja sama dengan publisher lokal, namun tidak membaginya kembali secara adil. Dampaknya tidak hanya ekonomis, tapi juga sosial, seperti penyebaran hoaks, ujaran kebencian, judi online, dan kecanduan digital.

Agus mendorong Indonesia meniru regulasi digital Uni Eropa seperti Digital Services Act dan Digital Markets Act. Ia juga menilai regulasi dalam negeri seperti Perpres Publisher Rights dan UU ITE belum cukup menyentuh akar permasalahan.

Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, mengakui industri media dalam kondisi tidak sehat dan menyatakan pemerintah akan mengambil langkah untuk menjamin keberlangsungan media. Koordinasi lintas kementerian tengah dilakukan untuk menangani dampak PHK dan mencari solusi bisnis baru bagi media.

Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, menyebut bahwa media perlu menemukan model bisnis baru yang adaptif. Kolaborasi untuk melawan disinformasi serta pemanfaatan teknologi seperti AI secara positif menjadi salah satu peluang.

Komisi I DPR RI saat ini tengah membahas RUU Penyiaran untuk menyesuaikan regulasi dengan kondisi digital. Anggota Komisi I, Amelia Anggraini, menekankan pentingnya perlindungan terhadap media konvensional tanpa menghambat inovasi digital.

Pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansah menilai pemerintah tak bisa abai. Negara-negara lain telah sejak lama memproteksi industri medianya karena dianggap bagian dari infrastruktur demokrasi. Ia menyarankan agar pemerintah mengalokasikan belanja iklan, terutama iklan pemerintah, kepada media nasional.

Sementara itu, ekonom INDEF Andry Satrio Nugroho menilai media harus mendiversifikasi sumber pendapatan dan tidak hanya bergantung pada iklan. Event, konten premium, atau diversifikasi bisnis dapat menjadi solusi jangka panjang. Pemerintah juga diminta memberi insentif tambahan untuk melindungi pekerja yang terkena PHK.

Gelombang PHK di industri media adalah krisis yang nyata. Bukan hanya tentang pekerjaan yang hilang, tapi juga tentang suara publik yang dibungkam. Jika media mati, siapa lagi yang akan menjaga demokrasi?


IKUTI INDONESIAUPDATES.COM

GOOGLE NEWS | WHATSAPP CHANNEL