...
BandungBeritaJawa BaratNasional

DPRD Kota Bandung Bahas Raperda Keberagaman, Jawab Keresahan Konflik SARA

×

DPRD Kota Bandung Bahas Raperda Keberagaman, Jawab Keresahan Konflik SARA

Bagikan Berita Ini
Wakil Ketua Pansus 9 DPRD Kota Bandung, Erick Darmadjaya, B.Sc., M.K.P.
Wakil Ketua Pansus 9 DPRD Kota Bandung, Erick Darmadjaya, B.Sc., M.K.P.

INDONESIAUPDATES.COM, NASIONAL – DPRD Kota Bandung melalui Panitia Khusus (Pansus) 9 tengah membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Keberagaman Kehidupan Bermasyarakat. Raperda ini digagas sebagai respon terhadap persoalan SARA yang dinilai tak kunjung usai dan berpotensi memicu konflik sosial di tengah masyarakat yang multikultural.

Wakil Ketua Pansus 9 DPRD Kota Bandung, Erick Darmadjaya, B.Sc., M.K.P., menyebutkan, keberadaan raperda ini dilatarbelakangi oleh keresahan atas berbagai persoalan intoleransi dan diskriminasi yang terus muncul di masyarakat.

“Pembentukan raperda ini dilatarbelakangi keresahan terhadap permasalahan SARA yang tidak kunjung selesai dengan berbagai kemasannya,” ujar Erick saat ditemui seusai rapat pansus, Selasa (16/7).

Lebih lanjut, Erick menekankan pentingnya regulasi ini mengingat posisi Kota Bandung sebagai kota tujuan wisata yang banyak dikunjungi wisatawan domestik dan mancanegara.

“Itu harus diatur, bagaimana perilaku warga terhadap wisatawan lokal dan internasional,” tambahnya.

Ia menyoroti sejumlah kasus yang mencoreng citra kota, seperti pelecehan terhadap turis asing serta pungutan liar terhadap wisatawan domestik. Menurutnya, hal semacam itu tidak boleh dibiarkan dan perlu pengaturan yang jelas agar tidak terulang.

“Ini kan tidak boleh terjadi. Sehingga perlu pengaturan agar warga tidak melakukan tindakan yang melanggar dan merugikan orang lain,” tegas Erick.

Namun, pembahasan raperda belum berjalan mulus. Erick mengungkapkan, Pansus 9 baru dua kali menggelar rapat. Dalam pertemuan pertama, bagian hukum Pemkot Bandung menyatakan bahwa perda tidak boleh mencantumkan sanksi maupun membahas agama secara eksplisit. Hal ini memicu perdebatan di kalangan anggota dewan.

“Teman-teman menyatakan, buat apa bikin perda yang biayanya mahal, tapi tidak boleh membahas agama atau SARA dan juga tidak ada sanksi. Kalau begitu, ya buat saja surat edaran,” keluhnya.

Menurut Erick, regulasi yang baik seharusnya memuat sanksi sebagai unsur pemaksa agar masyarakat patuh terhadap aturan. Tanpa sanksi, kata dia, sebuah perda tidak akan efektif.

“Perda kan harus ada sanksi sebagai unsur paksa agar warga mematuhi aturan. Kalau tidak ada sanksi, buat apa. Sanksi kan untuk membuat jera,” tandasnya.

Ia menegaskan bahwa persoalan SARA ibarat bom waktu yang bisa meledak kapan saja jika dibiarkan tanpa regulasi. Warga bisa semena-mena menolak kegiatan keagamaan atau komunitas tertentu hanya karena tidak ada aturan yang melindungi keberagaman.

“Lewat perda ini diharapkan bisa diakomodir soal keberagaman, dan masyarakat jelas soal aturannya dan tidak sumir,” tuturnya.

Meski baru tahap awal, Erick berharap pembahasan raperda ini bisa segera masuk ke substansi utama dan melibatkan berbagai pihak, termasuk ahli hukum, tokoh agama, hingga kelompok masyarakat sipil agar menghasilkan regulasi yang adil dan aplikatif.