INDONESIAUPDATES.COM, NASIONAL – Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Kanit PPA) Satreskrim Polrestabes Makassar, Iptu HR, tengah diperiksa oleh Divisi Pengamanan Internal (Paminal) Polri setelah diduga meminta uang sebesar Rp 10 juta kepada pelaku kasus kekerasan seksual. Uang tersebut disebut-sebut sebagai syarat agar kasus dapat diselesaikan melalui mekanisme restorative justice (RJ), atau perdamaian antara pelaku dan korban.
Dugaan ini pertama kali diungkapkan oleh Kepala Tim Reaksi Cepat (TRC) UPTD PPA Kota Makassar, Makmur. Menurutnya, Iptu HR meminta uang dari pelaku, lalu menawarkan pembagian uang tersebut, yakni Rp 5 juta untuk korban dan Rp 5 juta untuk dirinya sendiri.
“Korban dipanggil dengan didampingi UPTD, lalu ditawarkan uang lebaran Rp 5 juta, sementara kepada pelaku diminta Rp 10 juta. Dia ingin Rp 5 juta diambil untuk dirinya,” ujar Makmur, Rabu (12/3).
Makmur menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Kanit PPA Polrestabes Makassar tidak dapat dibenarkan. Selain itu, ia juga menyayangkan tindakan Iptu HR yang diduga mengusir pendamping korban dari UPTD PPA Kota Makassar saat proses berlangsung.
“Kami sangat keberatan dengan perilaku oknum ini. Berdasarkan undang-undang, kasus kekerasan seksual tidak boleh didamaikan begitu saja. Banyak kasus yang diselesaikan dengan alasan RJ, padahal itu tidak semestinya terjadi. Kami sangat marah mengetahui pendamping korban diusir,” tegas Makmur.
Kapolrestabes Makassar: Kanit PPA Sudah Diperiksa
Menanggapi laporan ini, Kapolrestabes Makassar Kombes Pol Arya Perdana menyatakan bahwa pihaknya telah memanggil dan memeriksa Iptu HR beserta satu orang penyidiknya untuk klarifikasi.
“Kami sudah memanggil yang bersangkutan untuk klarifikasi. Kanit PPA dan penyidiknya sedang diperiksa oleh Paminal,” ungkap Arya Perdana.
Saat ini, Polrestabes Makassar masih menunggu hasil pemeriksaan dari Paminal untuk menentukan langkah selanjutnya. Kombes Arya menegaskan, apabila dugaan tersebut terbukti benar, maka pihaknya akan menjatuhkan sanksi tegas sesuai aturan yang berlaku.
“Kami akan mendalami apakah hal itu benar atau tidak, serta mencari tahu latar belakang kejadian ini. Jika terbukti bersalah, yang bersangkutan akan dicopot dari jabatannya dan menjalani hukuman disiplin,” katanya.
Praktik RJ dalam Kasus Kekerasan Seksual Jadi Sorotan
Kasus ini kembali menyoroti praktik penyelesaian hukum melalui restorative justice dalam perkara kekerasan seksual. Berdasarkan regulasi yang ada, kekerasan seksual termasuk dalam kategori kejahatan yang tidak bisa diselesaikan di luar jalur hukum. Namun, di lapangan, masih sering terjadi upaya “damai” yang merugikan korban.
Sejumlah aktivis perlindungan perempuan dan anak menilai bahwa praktik semacam ini melemahkan efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual. Mereka mendesak agar aparat penegak hukum benar-benar menjalankan tugasnya untuk melindungi korban, bukan justru mencari keuntungan pribadi dari kasus yang seharusnya ditangani secara serius.
Kasus dugaan pemerasan oleh Iptu HR kini menjadi perhatian publik. Masyarakat menunggu tindak lanjut dari Polri dalam menangani kasus ini secara transparan dan adil.
Pertanyaan Umum FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)
1. Apa yang menjadi dugaan utama dalam kasus ini?
Dugaan utama adalah bahwa Iptu HR meminta uang Rp 10 juta kepada pelaku kekerasan seksual sebagai syarat untuk menyelesaikan kasus melalui restorative justice (RJ).
2. Apakah restorative justice boleh diterapkan dalam kasus kekerasan seksual?
Tidak. Berdasarkan peraturan yang berlaku, kekerasan seksual merupakan tindak pidana yang tidak boleh diselesaikan di luar jalur hukum.
3. Siapa yang pertama kali mengungkap dugaan ini?
Dugaan ini pertama kali diungkap oleh Kepala Tim Reaksi Cepat (TRC) UPTD PPA Kota Makassar, Makmur.
4. Apa tindakan yang telah diambil oleh pihak kepolisian?
Kapolrestabes Makassar telah memanggil Iptu HR dan penyidiknya untuk diperiksa oleh Divisi Paminal guna melakukan klarifikasi.
5. Apa sanksi yang bisa diberikan jika terbukti bersalah?
Jika terbukti bersalah, Iptu HR bisa dicopot dari jabatannya dan dijatuhi hukuman disiplin sesuai aturan Polri.
6. Mengapa kasus ini menjadi perhatian publik?
Kasus ini menjadi perhatian karena melibatkan aparat penegak hukum yang seharusnya melindungi korban, tetapi justru diduga mencari keuntungan pribadi dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
IKUTI INDONESIAUPDATES.COM
GOOGLE NEWS | WHATSAPP CHANNEL