INDONESIAUPDATES.COM, NASIONAL – Sejak disahkan pada 5 Oktober 2020, Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) terus menuai kontroversi, terutama dalam Bab IV tentang ketenagakerjaan. Meski pemerintah menyebut tujuan utamanya adalah menyederhanakan regulasi dan membuka lapangan kerja, berbagai elemen masyarakat menilai sejumlah pasal justru berpotensi melemahkan hak-hak dasar pekerja.
Sejumlah perubahan yang paling disorot menyangkut status kontrak kerja, hak istirahat, pengupahan, hingga perlindungan saat terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Berikut ulasan lengkap pasal-pasal yang dianggap problematik:
Perubahan Ketentuan PKWT: Status Kontrak Tak Lagi Jelas
Pasal 59 UU Ketenagakerjaan sebelumnya mengatur bahwa perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) berlaku maksimal dua tahun dan hanya bisa diperpanjang satu kali selama satu tahun. Namun, melalui Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja, pengaturan ini diserahkan sepenuhnya kepada Peraturan Pemerintah (PP).
🔎 Dampak potensial: Kontrak kerja bisa diperpanjang berulang kali tanpa batas waktu yang pasti, membuat pekerja terjebak dalam status non-permanen.
Pemangkasan Hak Libur dan Istirahat Panjang
Perubahan Pasal 79 juga menuai kritik. Dalam ketentuan baru, istirahat mingguan hanya satu hari libur untuk enam hari kerja. Ketentuan tentang istirahat panjang selama dua bulan setiap enam tahun masa kerja turut dihapus, dan hanya berlaku jika diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan.
🔎 Dampak potensial: Hak pekerja atas waktu pemulihan fisik dan mental menjadi bergantung pada kebijakan internal perusahaan, bukan lagi jaminan undang-undang.
Penyederhanaan Kebijakan Pengupahan yang Dinilai Mengurangi Hak Buruh
Pasal 88 UU Ketenagakerjaan direvisi lewat Pasal 81 angka 24 dalam UU Cipta Kerja. Jumlah poin terkait kebijakan pengupahan dipangkas dari 11 poin menjadi hanya 7 poin, dengan menghapus:
-
Upah selama istirahat
-
Ketentuan pesangon
-
Aspek penghitungan pajak penghasilan
Seluruh pengaturan detail diserahkan kepada PP.
🔎 Dampak potensial: Tanpa ketegasan di tingkat undang-undang, posisi tawar pekerja dalam negosiasi upah melemah secara signifikan.
Dihapusnya Perlindungan terhadap Upah Minimum
Pasal 91 UU Ketenagakerjaan, yang melarang kesepakatan upah di bawah upah minimum dan memberi sanksi bagi pelanggar, dihapus melalui Pasal 81 angka 29.
🔎 Dampak potensial: Tanpa pasal ini, tidak ada sanksi hukum yang jelas bagi pengusaha yang membayar di bawah Upah Minimum Regional (UMR), sehingga pekerja berisiko kehilangan perlindungan hukum dalam soal pengupahan.
Hilangnya Hak PHK Sepihak oleh Pekerja
Pasal 169 yang memberi hak pekerja untuk mengajukan PHK sepihak jika mengalami kekerasan, pelecehan, atau pelanggaran berat dari pengusaha juga dihapus.
🔎 Dampak potensial: Pekerja kehilangan dasar hukum untuk mengakhiri hubungan kerja secara sah dengan kompensasi jika dirugikan secara serius oleh perusahaan.
Seruan dari Serikat Pekerja dan Masyarakat Sipil
Berbagai serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil menyuarakan penolakan terhadap pasal-pasal tersebut. Mereka menilai, penghapusan dan pengalihan pengaturan ke Peraturan Pemerintah membuka ruang bagi praktik eksploitasi, pelemahan posisi tawar pekerja, dan ketidakpastian hukum dalam hubungan kerja.
Sementara itu, pemerintah menyatakan bahwa implementasi teknis akan diatur lebih lanjut dalam PP, namun belum mampu meredam kekhawatiran publik.