INDONESIAUPDATES.COM, NASIONAL – Pembangunan pagar laut di Kabupaten Tangerang, Banten, dan Bekasi, Jawa Barat, telah menjadi isu panas yang menghebohkan masyarakat, terutama nelayan yang merasakan dampaknya secara langsung. Pagar laut ini dianggap menghalangi akses nelayan untuk mencari nafkah dan menimbulkan kerugian besar bagi mereka. Namun, pertanyaan besar muncul: Siapa yang bertanggung jawab atas pemagaran ini? Apakah ada agenda tersembunyi di balik pembangunan pagar laut yang diduga ilegal ini?
Fakta di Lapangan
Di Kabupaten Tangerang, pagar laut sepanjang 30,16 kilometer telah terbentang di perairan dari Desa Muncung hingga Desa Pakuhaji. Dibangun dari bambu, paranet, dan karung berisi pasir, pagar laut ini tinggi rata-rata 6 meter dan membentang di 16 desa di enam kecamatan. Pembangunan pagar ini dilaporkan menghabiskan biaya miliaran rupiah, namun klaim resmi tentang siapa yang membiayai dan membangunnya masih menjadi teka-teki.
Sementara itu, di Kabupaten Bekasi, pagar laut sepanjang 8 kilometer ditemukan di perairan Kampung Paljaya, Desa Segarajaya, Kecamatan Tarumajaya. Pagar laut ini juga menuai keluhan nelayan yang merasa kesulitan mencari ikan setelah adanya pemagaran. Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengklaim bahwa pagar laut tersebut dibangun secara legal sebagai bagian dari pembangunan alur pelabuhan dan tempat pelelangan ikan (TPI).
Dampak Negatif terhadap Nelayan
Nelayan di kedua wilayah merasakan dampak langsung dari keberadaan pagar laut. Di Tangerang, mereka harus memutar waktu hingga satu jam lebih untuk melewati pagar, yang tentu saja menghabiskan banyak bahan bakar. Di Bekasi, hasil tangkapan ikan nelayan menurun drastis. Dulu, nelayan bisa membawa pulang hingga 40 kilogram ikan per perjalanan, kini hanya sekitar 5 kilogram. Selain itu, keberadaan pagar laut ini membuat nelayan kesulitan untuk melaut di perairan yang sebelumnya lebih mudah diakses.
Tudingan dan Klarifikasi
Jaringan Rakyat Pantura (JRP) mengklaim bahwa pagar laut di Tangerang dibangun secara swadaya oleh masyarakat untuk mencegah abrasi dan mitigasi bencana tsunami. Namun, klaim ini diragukan karena biaya yang dibutuhkan untuk membangun pagar laut diperkirakan sangat besar, sementara masyarakat yang terlibat hanya dibayar Rp 100.000 per hari. Beberapa pihak menduga bahwa pagar laut ini terkait dengan proyek strategis Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, meskipun manajemen PIK 2 membantah tudingan tersebut.
Sementara itu, di Bekasi, pemerintah daerah menegaskan bahwa pagar laut ini merupakan bagian dari pembangunan pelabuhan yang sah, dengan tujuan untuk membangun tempat pelelangan ikan (TPI) yang lebih terorganisir. Namun, hal ini tetap menimbulkan kekhawatiran terkait keberlanjutan ekosistem laut di sekitar wilayah tersebut.
Pelanggaran Hukum dan Regulasi
Pembangunan pagar laut di kedua wilayah ini jelas melanggar beberapa regulasi penting. Di antaranya adalah:
- Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekayaan alam, termasuk perairan, dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
- Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) yang telah diratifikasi Indonesia, yang melarang privatisasi dan pemagaran ruang laut tanpa izin yang jelas.
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, yang mengharuskan pemilik proyek pemanfaatan ruang laut memiliki izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).
Selain itu, pembangunan pagar laut di Tangerang dan Bekasi tidak memiliki izin yang sah sesuai dengan regulasi yang berlaku, sehingga dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum. Jika tidak ada kajian lingkungan yang jelas, tindakan ini dapat berpotensi merusak keanekaragaman hayati dan menyebabkan perubahan fungsi ruang laut yang berdampak negatif pada masyarakat pesisir.
Tindak Lanjut Pemerintah
Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyegel pagar laut di Tangerang dan memberi waktu 20 hari untuk pemiliknya untuk membongkarnya. Jika tidak ada respons, KKP akan melakukan pembongkaran secara paksa. Ombudsman RI mendesak agar tindakan ini segera dilaksanakan, karena dampak negatifnya sudah sangat merugikan nelayan.
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sedang melakukan kajian lingkungan terkait dampak pagar laut ini terhadap ekosistem laut. Jika ditemukan kerusakan lingkungan yang melampaui ambang batas, hukum akan ditegakkan melalui sanksi administratif atau bahkan pidana.
Pertanyaan Umum (FAQ): Pagar Laut di Tangerang dan Bekasi
1. Apa itu pagar laut di Tangerang dan Bekasi?
Pagar laut adalah struktur yang dibangun di perairan untuk tujuan tertentu, seperti mencegah abrasi atau untuk pembangunan infrastruktur. Di Tangerang, pagar laut membentang sepanjang 30,16 km, sedangkan di Bekasi sekitar 8 km. Keberadaan pagar laut ini menimbulkan kontroversi karena dianggap mengganggu aktivitas nelayan.
2. Siapa yang membangun pagar laut ini?
Di Tangerang, klaim pembangunan pagar laut datang dari beberapa pihak, termasuk Jaringan Rakyat Pantura (JRP) yang mengatakan itu dibangun swadaya masyarakat untuk mitigasi bencana. Namun, ada juga tuduhan bahwa pengembang Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 terlibat, meskipun mereka membantahnya. Di Bekasi, pemerintah Provinsi Jawa Barat menyebut pembangunan pagar laut terkait dengan proyek pelabuhan oleh PT Tunas Ruang Pelabuhan Nusantara (TRPN) dan PT Mega Agung Nusantara (MAN).
3. Apa dampak dari keberadaan pagar laut?
Pagar laut menghambat aktivitas nelayan, memperpanjang waktu perjalanan melaut, serta mengurangi hasil tangkapan ikan. Di Tangerang, nelayan harus memutari pagar laut yang memakan waktu lebih lama dan bahan bakar, sementara di Bekasi, hasil tangkapan ikan turun drastis.
4. Apakah pembangunan pagar laut ini legal?
Pembangunan pagar laut ini melanggar berbagai aturan hukum, termasuk tidak memiliki izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL), serta bertentangan dengan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Selain itu, tindakan pemagaran laut ini juga dinilai melanggar Pasal 33 UUD 1945 dan konvensi UNCLOS yang mengatur pemanfaatan ruang laut.
5. Apa yang dilakukan pemerintah terkait masalah ini?
Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyegel pagar laut dan memberikan waktu 20 hari kepada pemiliknya untuk membongkarnya. Jika tidak ada tindakan, KKP akan melakukan pembongkaran paksa. Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sedang melakukan kajian dampak lingkungan dari pagar laut ini.
6. Kenapa pagar laut ini merugikan nelayan?
Pagar laut menghalangi jalur kapal nelayan, memaksa mereka untuk memutari pagar tersebut, yang menghabiskan waktu dan bahan bakar. Hal ini membuat nelayan kesulitan mencari ikan dan mengurangi pendapatan mereka.
7. Bagaimana cara mengatasi masalah ini?
Solusi untuk masalah ini melibatkan pembongkaran pagar laut yang tidak sah, serta penyelesaian hukum terkait izin dan dampak lingkungan. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa proyek pembangunan di wilayah pesisir dilakukan dengan mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan kelestarian lingkungan.
8. Apakah pagar laut ini terkait dengan proyek Pantai Indah Kapuk (PIK) 2?
Tuduhan bahwa pagar laut di Tangerang dibangun oleh pengembang PIK 2 masih belum terbukti. Pihak pengelola PIK 2 membantah keterlibatannya dalam pembangunan pagar laut ini. Namun, karena lokasi pagar dekat dengan proyek strategis nasional PIK 2, dugaan ini muncul.
9. Apa yang harus dilakukan oleh pemangku kepentingan?
Pemangku kepentingan, baik dari pemerintah maupun sektor swasta, harus memastikan bahwa setiap proyek pembangunan di wilayah pesisir mengikuti regulasi yang berlaku dan mempertimbangkan dampak sosial serta lingkungan. Keterbukaan informasi dan dialog dengan masyarakat sangat diperlukan untuk mencari solusi yang adil.
10. Apakah ada potensi sanksi bagi pihak yang membangun pagar laut ini?
Karena pagar laut dibangun tanpa izin yang sah, pihak yang bertanggung jawab bisa dikenakan sanksi hukum. Ini bisa berupa sanksi administratif atau pidana, tergantung pada hasil kajian lingkungan dan temuan dari investigasi yang sedang dilakukan oleh pihak berwenang.
IKUTI INDONESIAUPDATES.COM DI GOOGLE NEWS