INDONESIAUPDATES.COM, NASIONAL – Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Keberagaman Kehidupan Bermasyarakat yang tengah dibahas DPRD Kota Bandung mendapat kritik karena dinilai belum menyentuh akar permasalahan di masyarakat secara mendalam. Salah satu kritik utama datang dari Anggota Pansus 9 DPRD Kota Bandung, Dr. Uung Tanuwidjaja, S.E., M.M., yang menyoroti minimnya pelibatan pengurus RW serta absennya klausul sanksi dalam regulasi tersebut.
“Raperda ini masih terlalu dangkal karena hanya membatasi peran pemerintah sampai tingkat kelurahan. Padahal yang bersentuhan langsung dengan masyarakat itu RW,” ujar Uung dalam keterangannya, Senin (28/7/2025).
Peran RW Perlu Diatur dalam Perwal
Uung berharap peran RW dapat diakomodasi dalam peraturan wali kota (Perwal) sebagai turunan dari perda ini. Menurutnya, keberadaan RW sangat krusial dalam menjaga keberagaman dan mencegah konflik sosial berbasis SARA di lingkungan masyarakat.
“Sayang sekali kalau RW tidak dilibatkan dalam menjaga keberagaman ini. Harusnya nanti Perwal mengatur fungsi mereka secara jelas,” tambahnya.
Bandingkan dengan Semarang, Salatiga, dan Singkawang
Untuk memperkuat substansi Raperda, Pansus 9 telah melakukan studi banding ke beberapa kota yang dinilai berhasil menjaga harmoni sosial seperti Semarang, Salatiga, dan Singkawang. Ketiga kota ini dianggap mampu menjaga toleransi meski masyarakatnya multietnis.
“Di Semarang banyak pedagang Arab, Tionghoa, dan lokal hidup berdampingan. Meski dulu pernah ada gesekan, tapi semangat menjaga kerukunan sangat tinggi,” jelas Uung.
Permasalahan Rumah Ibadah Jadi Letupan Umum
Uung juga menyinggung bahwa konflik SARA di Bandung seringkali dipicu oleh persoalan pendirian rumah ibadah, bukan karena persoalan suku.
“Biasanya yang sensitif itu soal tempat ibadah. Masyarakat sering kali belum paham proses atau izin pendiriannya,” ujarnya.
Namun, ia menegaskan bahwa Raperda ini tidak akan membahas aspek perizinan rumah ibadah, melainkan lebih fokus pada semangat saling menghargai dan toleransi antarwarga.
Minim Sanksi, Penyelesaian Masih Musyawarah
Salah satu poin krusial yang disayangkan Uung adalah tidaknya adanya sanksi tegas dalam Raperda ini. Ia menyebutkan bahwa penyelesaian konflik hanya diarahkan pada musyawarah di tingkat kelurahan atau kecamatan.
“Kalau ada pelanggaran, tetap ditekankan musyawarah dulu. Kalau sudah masuk ranah pidana, baru dilimpahkan ke aparat hukum,” terang Uung.
Harapan: Masyarakat Bersatu dalam Keberagaman
Dengan hanya terdiri dari 10 bab dan 24 pasal, Uung berharap Perda ini tetap bisa menjadi pedoman bagi masyarakat Kota Bandung untuk hidup berdampingan secara damai, saling menghargai perbedaan, dan menjunjung tinggi nilai toleransi.
“Harapan kami, Perda ini membuat masyarakat bersatu dan memiliki toleransi tinggi dalam kehidupan bermasyarakat,” tutupnya.