JakartaBeritaHukumNasional

Zarof Ricar Divonis 16 Tahun Penjara: Terbukti Suap Bebaskan Ronald Tannur dan Terima Gratifikasi Rp 915 Miliar

×

Zarof Ricar Divonis 16 Tahun Penjara: Terbukti Suap Bebaskan Ronald Tannur dan Terima Gratifikasi Rp 915 Miliar

Bagikan Berita Ini
Ilustrasi - Mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar divonis 16 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat setelah dinyatakan bersalah dalam kasus suap pembebasan Ronald Tannur, terdakwa pembunuhan Dini Sera Afrianti, serta terbukti menerima gratifikasi dalam jumlah fantastis.
Ilustrasi - Mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar divonis 16 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat setelah dinyatakan bersalah dalam kasus suap pembebasan Ronald Tannur, terdakwa pembunuhan Dini Sera Afrianti, serta terbukti menerima gratifikasi dalam jumlah fantastis.

INDONESIAUPDATES.COM, NASIONAL – Mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, resmi dijatuhi hukuman 16 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat. Ia dinyatakan bersalah dalam kasus suap pembebasan Ronald Tannur dan terbukti menerima gratifikasi senilai Rp 915 miliar serta 51 kilogram emas selama menjabat di lingkungan MA.

Suap Kasasi Ronald Tannur: Skandal Besar di Tubuh MA

Ketua Majelis Hakim, Rosihan Juhriah Rangkuti, menyatakan bahwa Zarof terbukti melakukan pemufakatan jahat untuk memengaruhi putusan kasasi atas nama terdakwa kasus pembunuhan, Ronald Tannur. Dalam amar putusan disebutkan bahwa Zarof bersama pengacara Ronald, Lisa Rachmat, memberikan uang suap sebesar Rp 5 miliar kepada Hakim Agung Soesilo untuk mempertahankan vonis bebas Ronald yang sebelumnya diputuskan Pengadilan Negeri Surabaya tahun 2024.

“Mengadili, menyatakan terdakwa Zarof Ricar telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah… dan menerima gratifikasi,” ujar hakim Rosihan dalam sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (18/6/2025).

Terbukti Terima Gratifikasi Rp 915 Miliar dan 51 Kg Emas

Lebih mengejutkan, majelis hakim juga mengungkap bahwa Zarof menerima gratifikasi dalam jumlah fantastis selama menjabat di MA selama 10 tahun terakhir. Total gratifikasi yang diterima mencapai Rp 915 miliar dan 51 kilogram emas, menandai salah satu kasus korupsi terbesar dalam sejarah peradilan Indonesia.

Baca Juga :  Tingkat Pengangguran Tinggi, DPRD Bekasi Peringatkan Bahaya TPPO

Vonis Lebih Ringan dari Tuntutan Jaksa

Meski vonis 16 tahun penjara tergolong berat, hukuman ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya menuntut 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Dalam putusan hakim, Zarof tetap dijatuhi denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan, serta perintah perampasan aset hasil korupsi.

Dasar Hukum: Pasal UU Tipikor

Zarof dijerat dengan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu:

  • Pasal 6 ayat (1) huruf a jo Pasal 15

  • Pasal 12B jo Pasal 18

Pasal-pasal tersebut mengatur tentang pemberian suap kepada hakim dan penerimaan gratifikasi oleh penyelenggara negara.

Baca Juga :  Charlie Chandra, Tersangka Pemalsuan Surat, Ditangkap Paksa Polda Banten Setelah Coba Mengelabui Polisi

Zarof Belum Putuskan Ajukan Banding

Usai persidangan, Zarof masih belum memutuskan apakah akan menerima putusan atau mengajukan banding.

“Saya akan pikirkan dalam tujuh hari ke depan,” ujarnya singkat kepada wartawan.

Analisis dan Dampak Kasus Zarof Ricar

Kasus ini menjadi tamparan keras bagi integritas Mahkamah Agung, lembaga yang seharusnya menjadi penjaga terakhir keadilan. Skandal suap dan gratifikasi yang melibatkan pejabat tinggi MA seperti Zarof Ricar berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap sistem hukum di Indonesia.

Selain itu, keterlibatan advokat dan hakim agung dalam pusaran kasus ini mengindikasikan adanya praktik korupsi terstruktur dan sistemik dalam proses peradilan.

Vonis 16 tahun penjara untuk Zarof Ricar menjadi pengingat bahwa tidak ada yang kebal hukum di Indonesia, termasuk pejabat tinggi pengadilan. Namun, publik tetap menantikan apakah hukuman ini akan memberikan efek jera atau justru menjadi bagian dari siklus kasus korupsi yang terus berulang.